Skip to main content

HARMONISASI ENERGI LISTRIK DAN LINGKUNGAN

HARMONISASI ENERGI LISTRIK DAN LINGKUNGAN

Karya Ini Disusun untuk Mengikuti Lomba Inovasi untuk Negeri 2017

“Inovasi Menginspirasi Untuk Negeri"

Oleh: Lady Hafidaty Rahma Kautsar

I. PENDAHULUAN

Di era kini, sumberdaya energi listrik merupakan kebutuhan yang sangat krusial, seperti halnya kebutuhan primer pangan, sandang dan papan serta pendidikan. Tanpa pasokan listrik, suatu daerah bisa menjadi terbelakang, karena hanya dengan listrik peralatan berteknologi dapat beroperasi. Tidak lupakah bahwa akses komunikasi, bahkan internet pun bergantung pada sumber daya energi listrik? Ketergantungan terhadap listrik inilah yang menjadi suatu fenomena bisnis menarik untuk dimonopoli. Jika masih di era penjajahan, monopoli pastinya dilakukan VOC. Namun, kini monopoli cenderung dilakukan BUMN, yang semoga memang masih berpihak pada masyarakat. Ya, Perusahan Listrik Negara (PLN) merupakan satu-satunya “penjual listrik” ke end user.

Target 35.000 MW yang dicanangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) Mei 2015 lalu, telah didahului kondisi kelistrikan Indonesia yang masuk zona “lampu kuning”. Beberapa daerah di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Pekan Baru dan sebagian Kalimantan mendapatkan pasokan energi listrik minim dari pembangkit PLN. Ratio elektrifikasi di Indonesia pun masih sekitar 88,3 %, dan ini merupakan terendah di ASEAN. Hal ini dikarenakan minimnya pembangunan pembangkit listrik. Pertama, secara teknis, pembangunan merupakan hal yang mudah tetapi energi primernya darimana? Energi primer lebih banyak diekspor, seperti gas alam, dan batubara. Oleh karenanya perlu ada review terhadap kebijakan energi primer terlebih dahulu, yang seharusnya untuk kebutuhan dalam negeri (DMI/Domestic Market Obligation). Kedua, mesin pembangkit listrik sebaiknya mewaspadai buatan China, karena memiliki level KW 2, terbukti cepat rusak (manajemen PT PLN pernah memprotes Pemerintah China melalui Dubesnya tetapi dijawab enteng oleh dubes karena anggarannya sedikit maka kualitas mesin pun didapat juga rendah). Ketiga, pembangkit listrik sebaiknya basisnya energi terbarukan (renewable energy).

Jika menilik penggunaan listrik secara keseluruhan, listrik PLN merupakan listrik statis untuk keperluan pusat-pusat kegiatan ekonomi, belum termasuk transportasi. Sedangkan pasokan energi listrik transportasi berasal dari BBM. Dari sini, penulis membayangkan apabila dimasukkan unsur lingkungan, output dari konsumsi dapat rendah bahkan tidak ada emisi jika proses perubahan energi menjadi listrik hanya menghasilkan panas. Alternatif ini dapat dijalani melalui penyimpanan energi berupa baterai dan modifikasi dengan renewable energy. Kendala utama transportasi listrik (misalnya mobil listrik) ialah darimana sumber listrik yang diperoleh, apakah hanya dari PLN saja? Dengan demikian beban PLN pun bertambah,  jika seluruh sektor transportasi berubah mempergunakan baterai listrik yang dicharger dari listrik PLN. Dari sini renewable energy berbasis masyarakat adalah jawabannya.

 

II. ISI

Berdasarkan jurnal “Skenario Energi Terbarukan: Eksplorasi Teknologi, Penerimaan dan Iklim—pilihan-pilihan pada skala masyarakat”[1] (Gormally, 2016) energi terbarukan berasal dari penggabungan tenaga hidro (air), angin dan surya (PV) yang disimpan dalam baterai 24 jam, dan dibackup generator diesel, sehingga variabilitas energi terbarukan teratasi. Pada tahap pertama mengkombinasikan metode digabung kuantitatif (analisis spasial dan output energi dihitung) dengan data sekunder untuk menilai potensi sumber daya terbarukan tahunan di skala regional dan mengidentifikasi daerah-daerah dengan mencukupi sumber daya lokal untuk mendukung portofolio teknologi energi terbarukan. Tahap kedua melibatkan penggunaan metode kuantitatif dan kualitatif untuk menilai sikap warga untuk energi terbarukan, di tiga masyarakat Cumbrian (lokasi studi kasus di UK). Tema termasuk sikap terhadap kepemilikan lokal dari energi terbarukan, keterlibatan dalam skema energi lokal dan preferensi terhadap teknologi terbarukan yang berbeda. Masyarakat dipilih menggunakan hasil analisis spasial dilakukan di tahap awal, yang diidentifikasi sebagai memiliki potensi sumber daya tinggi untuk portofolio teknologi terbarukan. Tahap ketiga, salah satu dari tiga masyarakat (“Cureent State of Play”, “Low Carbon Adjusted Society” dan “Reluctant Scenario”) dipilih sebagai fokus untuk mengembangkan skenario energi di tingkat masyarakat dalam fase akhir studi keseluruhan.

Unsur geografi dalam jurnal ialah analisis potensi energi terbarukan di skala regional. Ini merupakan perpaduan geografi, teknik, MIPA dan sosiologi, yang mana nantinya dibuat pembangkit listrik pada daerah tersebut, apabila potensi sesuai dengan batas potensi yang bisa dikembangkan. Misalnya, dalam sebuah literatur tenaga angin di Kawasan Timur yang berpotensi dikembangkan ialah Tual (11861,4 wattday/year), Saumlaki (5797,7 wattday/year), Bandaneira (4727,8 wattday/year), dan Naha (3455,8 wattday/year)—berdasarkan arah dan kecepatan angin di Sulawesi tahun 2003-2008.

Pengembangan secara lebih lanjut, dapat dibuat Peta Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia, yang memiliki beberapa tahapan:

1.     Inventarisasi data.

- data potensi EBT, baik energi hidro, angin, matahari, biofuel, biomassa, panas bumi, gelombang laut, pasang surut.

- data yang mempengaruhi potensi EBT, misalnya pola cuaca dan iklim

- data kebutuhan lokasi yang diperlukan jika membangun pembangkit listrik di daerah tersebut

- data sikap masyarakat setempat/lokal terhadap energi terbarukan

* Guna minimalisir pendanaan riset pemetaan, dapat dilakukan inventarisasi penelitian baik dalam dan luar negeri mengenai energi terbarukan di daerah-daerah Indonesia (Inventarisasi berdasarkan 34 Provinsi, yang mana tiap Provinsi terdapat kabupaten, kota dan desa).

2. Pemetaan

      -dapat dilakukan secara nasional se-Indonesia

      -dapat dilakukan secara regional di 34 Provinsi atau pulau-pulau di Indonesia

      -untuk pemetaan inventarisasi yang berwarna biru diatas bersifat aplikatif jika ingin langsung dilakukan penerapan. Jika kekurangan dana untuk membangun, maka hasil pemetaan potensi EBT dapat diajukan pada pihak PLN maupun swasta, sebagai produsen listrik.

 

Kemudian, apabila sudah didapatkan Peta Potensi EBT di daerah tertentu secara akurat, renewable energy berbasis masyarakat, tentunya dapat dimulai dibangun jika ada pengusaha lokal yang melirik sektor energi. Jika tidak, dana dapat dihimpun dari masyarakat, atau dana CSR perusahaan di daerah setempat, atau sponsor, atau mengajukan pada pemerintah—dengan syarat masyarakat tersebut positif terhadap renewable energy di daerahnya. Jangan lupakan, untuk membangun renewable energy di suatu daerah (jika output>100% kebutuhan masyarakat dapat diekspor ke luar daerah), perlu menggandeng tokoh masyarakat setempat. Hal ini guna sosialisasi, dan apabila sudah dilepas secara mandiri pembangkit renewable energy, masyarakat dapat mengelolanya sendiri. Atau mungkin dapat dibentuk lembaga independen pengelola renewable energy di masyarakat tersebut.

 

III. PENUTUP

Renewable energy sebaiknya tidak hanya dari 1 sumber, tetapi beberapa sumber, dikarenakan jika salah satu sumber rendah outputnya, sumber lain dapat menutupi. Dalam perjalanan menuju masyarakat berbasis renewable energy (yang lebih suka penulis beri istilah sendiri “Smart People”), sekurang-kurangnya setelah pembuatan Peta EBT, masyarakat perlu diedukasi pentingnya, proses, input dan output berbagai renewable energy secara umum, dan potensial di daerahnya. Renewable energy pun tidak hanya mengandalkan aliran dari sumber tertentu renewable di daerah lokal tersebut (misalnya energi gelombang laut), tetapi apabila di rumah masing-masing dapat diintegrasikan renewable energy (misalnya sel surya untuk memanaskan air yang ditaruh di atap rumah), kenapa tidak?

 

DAFTAR PUSTAKA

Abadi, Tulus. 2015. Mengkritik Rencana Pembangunan Pembangkit Listrik. http://ylki.or.id/2015/11/mengkritik-rencana-pembangunan-pembangkit-listrik/  (diakses pada 13 Juni 2017; pukul 18:44 WIB)

Afrianto, Dedy. 2016. Rasio Elektrifikasi Indonesia Terendah di Asia Tenggara. http://economy.okezone.com/read/2016/07/22/320/1444756/rasio-elektrifikasi-indonesia-terendah-di-asia-tenggara (diakses pada 13 Juni 2017; pukul 18:47 WIB)

A.M. Gormally, J.D. Whyatt, R.J. Timmis, C.G. Pooley. 2016. Renewable energy scenarios: Exploring acceptance and climate—Options at the community-scale. Elsevier: Applied Geography: 74 (2016) 73-83.

Habibie, Najib, Achmad Sasmito, Roni Kurniawan. 2011. Kajian Potensi Energi Angin di Wilayah Sulawesi dan Maluku. Jurnal Meteorologi dan Geofisika Volume 12 Nomor 2 - September 2011: 181-187.


[1] A.M. Gormally, J.D. Whyatt, R.J. Timmis, C.G. Pooley. 2016. Renewable energy scenarios: Exploring technology, acceptance and climate—Options at  the community-scale. Elsevier: Applied Geography: 74 (2016) 73-83.

Comments

Popular posts from this blog

Bagaimana Mendapatkan data geografi?

Jawabannya adalah data geografi dapat diperoleh dari berbagai sumber, tergantung pada jenis data yang dibutuhkan dan tujuan Anda. (Menurut saya, Analisis seseorang bisa dibilang semakin kuat, apabila data/informasi yang didapatkan akurat & lengkap dan dapat menganalisisnya sesuai dengan tujuan, dan akan lebih baik lagi dengan berbagai sudut pandang) Pada umumnya, terbagi data primer dan data sekunder, antara lain: 1. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung (ke lapangan), biasanya untuk validasi atau kroscek data sekunder. 2. a. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari pihak kedua, dst. Perlu dikroscek.  2.b. Menurut hemat saya, data geografi pun dapat diperoleh melalui mix sekunder maupun primer. Beberapa penyedia data antara lain: Pemerintah : Banyak pemerintah memiliki badan atau lembaga yang mengumpulkan, mengelola, dan menyediakan data geografi. Misalnya, di banyak negara, badan survei atau badan statistik nasional biasanya menyediakan data geospa...

"The Influence of PT Natarang Mining's Gold Mining Activities on Population Livelihood Patterns"

"The Influence of PT Natarang Mining's Gold Mining Activities on Population Livelihood Patterns"   By: LHR Kautsar   Indonesia is threatened! The country of the world's lungs has now turned into the fastest destructive country in the world! That's what the Guinness Book of Records revealed. Based on forest cover mapping by the Indonesian government assisted by the World Bank (2000), there was an increase in the rate of deforestation from 1.7 million Ha/year (1985-1997), to 2.83 Ha/year (1997-2000), continuing to 15.15 million Ha/year (2000-2009). This change in forest "cover" is caused by human activity. Starting from illegal logging, land clearing due to the emergence of industry, forest conversion to agriculture, plantations to land clearing or conversion of forests for the mining industry. Yes, almost all mines in Indonesia cut down forests to set up mining businesses, and this then has an impact on the environment. It is fate that eve...

Sekilas Pertanian Presisi di Kanada dan Amerika Serikat (US) yang Bagaikan Science-Fiction!

Source from: https://earthobservatory.nasa.gov/features/PrecisionFarming   Imagine you are a farmer riding along in your 50,000-acre wheat field early in the growing season. You push a button on your tractor to turn on its Global Positioning System (GPS) monitor, which pinpoints your exact location to within one meter. Touching another button, you display a series of Geographical Information System (GIS) maps that show where the soil in your field is moist, where the soil eroded over the winter, and where there are factors within the soil that limit crop growth. Next, you upload remote sensing data, collected just yesterday, that shows where your budding new crop is already thriving and areas where it isn’t. You hit SEND to upload these data into an onboard machine that automatically regulates the application of fertilizer and pesticides—just the right amount and exactly where the chemicals are needed. You sit back and enjoy the ride, saving money as the machines do most of ...