I. Tanah muka bumi adalah tempat pelaksanaan semua kegiatan manusia sekaligus pula menjadi tempat pembatasnya
II. Konflik antara idealism akademik dan pragmatism usaha, menjadi gawat, apabila telah menyentuh tanah muka bumi. Kearifan regulatif birokrasilah yang diharapkan bisa menyelesaikan konflik itu.
III. Keragaman istilah yang tumbuh dari dialek-dialek setempat atau kadang malahan bahasa setempat, untuk perbuatan hukum atas tanah yang sama, sangat berperan untuk membuat ikhwal pertanahan di Nusantara menjadi sulit.
IV. Perhitungan yang hanya dibuat diatas kertas, dan tidak dilandasi oleh kenyataan lapang, hanya akan menghasilkan kekecewaan.
V. Masuknya Penguasa Barat melalui penguasa kolonial ke dalam kancah penguasaan tanah di Nusantara, pasti mengikutsertakan pula masuknya istilah dan perbuatan hukum atas tanah cara Barat ke dalam cara-cara perbuatan hukum tanah di Nusantara, sehingga ikhwal pertanahan menjadi lebih kacau.
VI. Kesimpulan bentuk tafsir tentang “tanah harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” wujud akhirnya haruslah bisa menciptakan suasana “”toto tenrem kerto raharjo”.
VII. Bagaimanapun saat ini Undang-Undang No.12/1972 hanya menjadi pemukul yang ampuh bagi pemerintah daerah untuk memaksa rakyat untuk menyerahkan tanahnya, dengan dalih demi tata ruang, yang tidak jelas tata laksana dan wujudnya.
VIII. SIG mengutamakan sistemnya, bukan informasinya.
IX. Sistem pada SIG, tanpa informasi, sama dengan nasi goreng tanpa nasi.
X. Sistem bias, membawa tertib, tetapi juga semrawut. Tertib adalah induk yang melahirkan lancar; semrawut melahirkan lawan dari lancar.
XI. Penginderaan jauh, atau usaha pembuatan peta dengan bantuan satelit, bukan matera sakti, yang bisa dipakai untuk memecahkan semua permasalahan peta.
XII. Informasi Geografis mengenai tanah yang telah dituangkan dalam sebuah sistem, bukan tujuan, melainkan alat untuk perumusan kebijaksanaan Pembangunan dan Pengendalian penggunaan tanah.
Ditulis pada Lampung, 22 Mei 2024 (01:05 WIB)
Comments
Post a Comment