“Sejauh-jauh burung terbang, akhirnya akan kembali jua ke sarangnya.” Fenomena ini mencitrakan bahwa mencitrakan sejauh apapun merantau, pada akhirnya akan kembali ke kampung halamannya. Namun, tahukah Anda dibalik tradisi turun-temurun yang kini kita sebut “mudik” ini, dibalik keruwetan lalu-lintas mudik yang berlangsung setiap tahunnya, terdapat suatu masalah yang belum terselesaikan. Alasan mengapa ada banyak penduduk Indonesia melakukan mudik. Meskipun positifnya, budaya mudik juga memberikan geliat ekonomi di daerah dengan cara melakukan transaksi ekonomi di daerahnya serta membagikan rezekinya pada sanak famili. Mungkinkah terjadi akibat kesenjangan?
Perlu diketahui, sebagian besar mudik merupakan arus balik dari urbanisasi. Artinya semakin banyak orang yang mudik berarti pertanda arus urbanisasi tinggi. Berdasarkan data Sensu Penduduk (SP) 1990, Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1995 dan Proyeksi Penduduk 2005 secara nasional pada tahun 1990, 1995, 2005 berturut-turut relatif mengalami peningkatan yakni 30.9%, 34.3%, 48,3%. Kemudian pada sepuluh tahun terakhir, peningkatan persentase penduduk kota mencapai lebih dari 163 persen secara nasional, yaitu dari jumlah penduduk kota 32,845 juta jiwa (tahun 1990) menjadi 86,40 juta jiwa (tahun 2000) atau secara proporsi dari 22,3 pada 1980 menjadi 48,3 pada tahun 2005.
Peningkatan proporsi menurut provinsi, dominan terjadi di perkotaan wilayah Jawa yang rata-rata mencapai 8,57 persen dalam waktu sepuluh tahun terakhir, sedangkan wilayah luar Jawa relatif kecil, yaitu rata-rata hanya 3,37 persen dalam waktu yang sama. Artinya, masih terdapat ketimpangan pada perkotaan di Jawa dengan luar Jawa. Ya, Pulau Jawa, lagi-lagi masih menjadi tujuan utama bagi urbanisasi. Sejak pemerintah mencanangkan program transmigrasi, kini urbanisasi masih tetap mendominasi di Jawa. terutama ke Jakarta.
Menengok pada sejarah, program transmigrasi yang dimulai dari 1905 adalah mengatasi kepadatan penduduk sejak zaman kolonial Belanda dari Pulau Jawa ke daerah lainnya misalnya Lampung. Namun, “pemindahan manusia” itu entah kenapa masih menyisakan kepadatan tak tertuntaskan di Jawa. Penulis berasumsi salah satu penyebabnya ialah sejak adanya pembangunan besar-besaran di kota-kota besar terutama di Jawa yang digalakkan tahun 1970-an. Hasilnya fasilitas di kota jauh lebih baik daripada di desa. Tak hanya itu pertumbuhan sektor industri menyebabkan peluang kerja terbuka di kota-kota besar. Banyak keluarga berurbanisasi ke kota. Lantas, bagaimana nasib desa saat itu?
Jika kita mendengar kata desa, yang kita bayangkan pastilah keasriannya, kedamaiannya serta penduduknya hidup sejahtera dengan bercocok-tanam. Namun semenjak penerapan revolusi hijau di abad 19 melalui Gerakan Bimas (Bimbingan Masyarakat) terjadi perubahan di sektor agraria khususnya pertanian. Ini pun dipengaruhi pula oleh perubahan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang menyangkut kepemilikian lahan bagi pertanian, dimana menunjang kesejahteraan mereka. Mata pencaharian petani semakin tidak mensejahterakan penduduk desa dimana mayoritasnya petani.
Sebuah program peningkatan swasembada beras atau yang dikenal Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi “Panca Usaha Tani”, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur. Hanya selama 5 tahun dari tahun 1984–1989 kesuksesan program ini menghantarkan Indonesia pada pada swasembada beras, tetapi kemudian berbagai kemerosotan terjadi.
Alam berubah sejak rusaknya ekologi sehingga angin pertanian pun berubah. Bahan kimia pupuk sintetik merusak strukur, kimia dan biologi tanah. Pestisida tidak lagi manjur akibat hama menjadi resisten setelah penggunaan terus-menerus, serta kacaunya rantai makanan. Tanah menjadi tandus dikarenakan mengandung residu pestisida. Bibit unggul seragam yang diprogramkan pemerintah menjadi bumerang saat wabah hama menyerang. Sekitar 1.500 varietas padi lokal punah. Petani pun terlilit hutang akibat gagal panen menyebabkan tak dapat membayar pinjaman untuk membeli produk industri pertanian seperti pupuk kimia, bibit, serta pestisida.
Kesejahteraan desa, yang mayoritasnya petani semakin memprihatinkan (ingat, mayoritas petani bukanlah pemilik lahan, melainkan petani penggarap maupun petani kecil yang memiliki 0,5 ha yang jauh dari ideal untuk kesejahteraan mereka yakni 2 ha), terutama diakibatkan pula masalah penguasaan lahan sebelum revolusi hijau, dan bertambah parah setelahnya. Tak heran setelah beberapa diantara mereka berbondong-bondong urbanisasi ke kota, yang konon menyediakan lapangan pekerjaan lebih mensejahterakan. Tak jarang pula diantara mereka menjadi TKI. Dipihak mereka sebagai rakyat, apakah salah jika penduduk desa berkeinginan untuk merubah nasib dengan urbanisasi? Ditambah lagi fasilitas di kota jauh lebih baik daripada di desa mereka. Alih profesi dari petani menjadi buruh pabrik, perbankan, jasa, atau pekerjaan lainnya di kota.
Dimata masyarakat, citra petani tidaklah bergengsi, terlebih maraknya berita kemiskinan dimana petani selalu ditindas. Mata pencaharian sesungguhnya masyarakat desa, petani, semakin lama semakin akan ditinggalkan apabila terus dibiarkan. Pemerintah bertahun lamanya lebih suka cara praktis mengimpor pangan, sehingga juga mempersulit persaingan pertanian lokal. Penjualan produk pertanian lokal di pasar tradional pun tersaingi oleh hadirnya toko-toko modern yang banyak terisi komoditas unggulan pertanian impor.
Akankah terus-menerus, harus masyarakat desa yang bertani mengalami kemunduran akibat kesejahteraan mereka yang tidak diperhatikan? Alam, yang seharusnya mensejahterakan mereka, justru tidak dapat menjadi tumpuan lagi. Ketahanan pangan Indonesia, yang seharusnya ditunjang sektor dari dalam negeri sendiri, sebagai negara yang pernah “mengaku” negara agraria apakah hanya dongeng belaka?
Bagaimanapun, mudik, dapat menjadi salah satu tolak ukur, melihat ketimpangan, serta sejarah antara urbanisasi dan sektor agraria pertanian. (lady)
*ditulis 27 Agustus 2012
Comments
Post a Comment