Untuk memahami suatu regional, perlu mengetahui FAKTA mengenai regional tersebut baik secara fisik maupun sosial. Karena ada tersebar data dan informasi secara tak tersistem, kita perlu mengoprek ke sana dan ke sini, dan biasanya menemukan sesuai kerangka saja alias terbatas. Tentu, kalau tidak dibatasi bisa melebar kemana-mana informasi dan data yang diambil, sehingga kadang ada yang tidak dipergunakan.
Untuk memahami pertanian secara komprehensif, perlu mengetahui dari hulu sampai hilir. Dari berbagai sumberdaya baik alam maupun manusia yang terkait. Oleh karenanya ilmu pertanian pun dipelajari juga dalam geografi. Geografi, ilmu mengenai keruangan yang melihat persamaan dan perbedaan ruang--lebih jauh, bagaimana geografi tak sekedar mencara fakta (data dan informasi), tetapi juga bersifat memecahkan masalah. Masalahnya, menganalisis bukanlah hal yang mudah. Sebab, kita seringkali dicekcoki oleh informasi atau data saja--sehingga kurang terlatih menganalisis menjadi suatu solusi baru. Informasi dan data ini masih terfragmentasi, sehingga kita memerlukan kerangka berpikir.
Pertanian adalah salah satu sektor dari berbagai sektor di Indonesia (lihat daftar pembagian sektor di Badan Pusat Statistik/BPS). Sektor pertanian, dalam kacamata tata ruang, adalah satu landuse maupun landcover (yang biasanya dalam peta skala tertentu, terbagi-bagi lagi lebih detail).
- Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
- Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
(Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang)
Melihat dari sini, mungkin seharusnya yang dipetakan selama ini tidak hanya darat atau laut, tetapi juga ruang udara, bahkan ruang di dalam bumi. Namun, sepertinya merupakan suatu hal yang cukup kompleks--tata ruang saja masalahnya belum selesai, ini lagi mau nambah-nambah...hehe.
Era kini SDG's dirumuskan menjadi Green Economy (untuk darat), dan Blue Economy (untuk laut). Untuk tata ruang, instrumennya darat adalah RTRW dan RDTR; sedangkan instrumen di laut adalah RZWP3K. Dalam masing-masing pun terdapat Perda pada tiap-tiap region.
Indonesia masih berkutat pada inventarisasi hingga dijadikannya Perda. Semua arus menuju pada pembangunan, yang berarti akan selalu direvisi karena lingkungan pun diubah ke arah pembangunan. Untuk pertanian, ada berbagai komoditas, tergantung ditanam apa oleh para petani. Untuk pertanian pula, seharusnya ada space untuk setiap region guna memenuhi kebutuhan regionnya sendiri. Namun dengan adanya komunikasi dan transportasi yang makin canggih, serta surplus makanan baik dari dalam negeri maupun luar negeri, maka dibukalah pundi-pundi impor maupun ekspor hasil pertanian. Akhirnya, suatu kota/regional tidak terlalu memikirkan perlunya pasokan bahan pangan/hasil pertanian dari regionalnya sendiri.
Namun, pandemi covid19 ini mulai menyadarkan kita semua perlunya pertanian dalam tata ruang. Walaupun mindsetnya tidaklah selalu harus region tersebut mendapatkan komoditas dari regionnya sendiri, tetapi pemerintah mencanangkan FOOD ESTATE. Sayangnya, merambah ke hutan-hutan, seperti hutan lindung, daerah gambut, dsb nya. Kadang, saya bertanya-tanya, haruskah selalu tanah yang menjadi media untuk menanam komoditas-komoditas ini? Tidak kah kita meniru bahwa media lain pun mulai dipergunakan oleh negara lain, bahkan hasilnya pun bisa lebih banyak.
Kembali pada tata ruang, pertanian di United Kingdom (Inggris) dijadikan sebagai sabuk-sabuk kota (greenbelt). Di Indonesia, seperti Jakarta misalnya, malah dibuat bangunan permanen. Ada kemungkinan ini karena transisi kebijakan, yang kemudian berimplikasi dijualnya tanah pertanian tersebut. Perlu dikroscek lebih lanjut.
Pertanian kini memiliki "senjata" melalui LP2B dalam tata ruang, misalnya di Banten. Seberapa efektifnya kebijakan ini, perlu ditelusuri lebih lanjut dan mendalam.
Inventarisasi sebaiknya tidak perlu berlama-lama dan menjadi kendala dalam mencari solusi ketahanan pangan. Kita bisa memanfaatkan data dari informan setempat guna mengetahui apa yang terjadi dan kebutuhan yang diperlukan guna mensejahterakan masyarakat.
Yang biasa menjadi masalah dalam koran adalah fluktuatifnya harga bahan pangan. Memahami hulu dan hilir tiap komoditas, dari aspek fisik dan sosial serta ekonomi adalah suatu jawaban sebelum melakukan eksekusi. Masalahnya, berpikirkah demikian para peneliti kita yang ternyata kurang "bersatu"? (mungkin implikasi dari kebijakan yang mewajibkan AK dan HKM, bukan based solution for people).
Kebijakan pada akhirnya dapat menjadi motor penggerak kemajuan, atau motor penggerak kemunduran suatu bangsa. Peta tata ruang dengan pertanian di dalamnya menjadi suatu hal yang seharusnya wajib untuk setiap region. Perlu dirumuskan suatu cara agar selain memikirkan pangan, manusia pun "menyatu dengan alam". Seperti halnya pemikiran Raja Salman, yang ingin membuat Kota Neom berisi 1 juta penduduk, dengan 95% alam dan 5% perkotaan.
Comments
Post a Comment