Hedonisme Akar dari Masalah Kota
Oleh: Lady Hafidaty R. K.
Urbanisasi merupakan faktor penyebab banyaknya penduduk yang kian bertambah di kota. Namun, percayakah Anda jika masalah urbanisasi di kota adalah dikarenakan faktor psikologis?
Seperti yang kita ketahui, globalisasi membuat arus produk-produk luar negeri semakin banyak, terutama di kota, sebagai pusat peradaban. Orang yang tidak tahan dengan keinginannya sendiri akan barang-barang ini menjadi bersifat konsumerisme. Dalam bahasa agama, sifat ini disebut “nafsu”. Perubahan gaya hidup, akibat ingin memuaskan nafsu dan adanya kepercayaan bahwa “manusia adalah makhluk yang tidak pernah puas”, disebabkan pergaulan yang mengarah pada “kalau lo gak punya gak gaul!” didukung promosi iklan ingin keuntungan berlipat ganda dari para produsen masing-masing barang hasil globalisasi itu sendiri.
Urbanisasi disebabkan karena keinginan memenuhi kebutuhan berlebihan atau mencicipi kemewahan kota yang terlihat pada layar kaca. Promosi media seperti TV dan radio ikut berperan besar mengubah cara pandang agar hidup mewah dan tidak pernah puas. Tidak hanya iklan, tetapi sinema (sinetron) seringkali menjadi pemicu promosi gaya hidup berlebihan di kota, bahkan menganggap pekerjaan-pekerjaan tertentu rendah. Misalnya pekerjaan petani dianggap pekerjaan rendahan, padahal hasil pertanian dibutuhkan oleh banyak orang. Anak petani dianggap anak miskin, anak kaya orang kaya bisa membeli apapun, padahal yang sebenarnya yg terjadi tidaklah selalu demikian.
Kemudian, karena ingin berpenghasilan besar (tanpa mempertimbangkan ongkos hidup di kota), dan juga fasilitas-fasilitas yang menjanjikan, tak sedikit orang berbondong-bondong pergi ke kota berharap terjadi perubahan iklim dalam hidupnya. Suatu keinginan agar hidup berubah kearah yang lebih baik bukanlah sesuatu yang salah. Namun, jika ingin mencicipi kemewahan dan hidup yang kita sebut hedonisme, inilah yang telah menyalahi ketentuan dalam surat At-Takatsur. Tidakkah ingat bahwa ayat pertama menyebutkan bahwa “bermegah-megahan telah melalaikan kamu”. Lalai memiliiki banyak definisi, tetapi secara umum adalah lalai dalam beribadah. Beribadah tidak hanya terdapat pada rukun islam, tetapi beribadah dengan menggunakan hati. Hati yang condong pada kemewahan cenderung lalai pada ibadah yang sesungguhnya.
Kota, pada dasarnya adalah pusat peradaban, beberapa diantaranya adalah pusat ekonomi. Kini, setelah penyakit psikologis akan keinginan hidup mewah tersebar dalam kota (dipicu dengan semakin menjamurnya pembangunan pusat-pusat barang hasil globalisasi misalnya pasar modern/mall mewah dengan beberapa segmen konsumen), kota menjadi tempat yang kurang layak dihuni. Kenapa? Karena lingkaran kehidupan wajah kota yang mewah, menciptakan generasi dan lingkungan yang kemudian rusak. Tidakkah ingat sesuatu yang berlebihan (mewah dalam hal materi) adalah selalu hal yang tidak baik? Bahkan Ibnu Khaldun, Bapak Ekonomi dan Sosiologi Islam, dalam bukunya Al-Muqadimmah, berpendapat bahwa diantara yang merusak sebuah peradaban adalah tenggelamnya masyarakat dalam gelimang kemewahan dan memperturutkan hawa nafsunya.
Arus barang masuk dari globalisasi menghasilkan banyak variasi gaya hidup yang kemudian mendorong “nafsu” manusia untuk terus hidup mewah (berlebih-lebihan). Filter yang sangat kuat adalah dari dalam diri masing-masing berasal dari agama, yaitu hidup dengan penuh rasa syukur. Tentunya manusia yang hidup dengan penuh rasa syukur akan cenderung melawan anggapan Adam Smith, bahwa “manusia adalah makhluk yang tidak pernah puas”, yang merupakan produk dari kapitalisme.
Ingatlah ayat kedua
At-Takatsur, “sampai kamu masuk ke dalam kubur”. Semoga kita tidaklah termasuk
orang yang bermegah-megahan sehingga menjadi orang yang lalai sampai tiba
waktunya kita masuk ke alam kubur. Wallahu’alam. [Lady]
Ya Kheir...
ReplyDelete