Skip to main content

DAMPAK PENGENDALIAN PENCEMARAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI (Oleh: Nabiel Makarim)

 Dari Bab ke-17 Buku “Mengangkat Masalah Lingkungan ke Media Massa”/penyunting: Atmakusumah, Maskun Iskandar, Warief Djajanto Basprie—Cet.I –Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1990.

 

DAMPAK PENGENDALIAN PENCEMARAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI

Oleh: Nabiel Makarim

Sebagian kegiatan pembangunan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Antara lain, kegiatan produksi jenis-jenis industri tertentu dapat menimbulkan pencemaran. Untuk mengatasinya, banyak negara, seperti di Indonesia menganut paham “poluters must pay principle” atau sering disingkat menjadi P3. P3 berarti pihak yang memprakarsai kegiatan pembangunan bertanggung jawab untuk membiayai pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan semua dampak kegiatan yang ditimbulkannya.

P3 diterapkan di beberapa negara Barat sejak tahun ’70-an. Pada awal ‘70-an itu sering terdengar kontroversi tentang P3. Kontroversi ini berkisar pada pertanyaan mengapa masyarakat (pemerintah) harus membebankan biaya tambahan kepada industri dan tentang dampak beban biaya tambahan ini terhadap persaingan lokal dan persaingan internasional.

Dari beberapa industri yang sudah melaksanakan pengendalian pencemaran di Indonesia, didapat data peningkatan biaya produksi untuk menerapkan baku mutu limbah. Dua contoh adalah peningkatan biaya produksi 2% untuk industri tekstil  tingkat menengah; 3-4% untuk industri pulp dan kertas tingkat menengah.

Apa pengaruh peningkatan biaya produksi 2-4% ini terhadap kelangsunngan usaha? Sudah tidak banyak lagi kontroversi semacam ini di negara-negara Barat. Di Indonesia dari waktu ke waktu masih sering terdengar kontroversi semacam itu. Tulisan ini dimaksudkan untuk sekali lagi menjelaskan dan menjawab beberapa isu kontroversi ini.

 

PRINSIP KEKEKALAN ENERGI

“Pengendalian pencemaran menambah biaya yang bisa menurunkan daya saing. Oleh karena itu, pengendalian pencemaran tidak perlu.” Pernyataan seperti ini kini masih sering terdengar juga. Asumsi di sini adalah bila tidak ada pengendalian pencemaran, maka biaya bisa otomatis tersulap hilang.

Untuk melihat seberapa jauh kebenaran pernyataan tersebut, kita perlu melihat apa yang terjadi bila pabrik tidak melakukan pengendalian pencemarannya. Kita ambil misalnya, sebuah pabrik yang membuang tanpa mengolah air limbahnya. Air limbah dari pabrik tersebut mencemari sungai dan sumur-sumur penduduk sekitarnya. Air menjadi bau dan beracun, tidak bisa untuk mandi dan mencuci, apalagi untuk diminum. Ikan tidak bisa lagi hidup dan berkembang biak secara normal. Maka masyarakat yang biasanya menggunakan sungai sebagai sumber kehidupan dan sumber pendapatan secara cuma-Cuma tidakbisa mendapatkannya lagi. Maka kualitas hidup masyarakat sekitar menurun karena pendapatan turun, tingkat kesehatan menurun, dan sebagainya.

Biaya yang tidak dikeluarkan oleh pabrik, pada dasarnya tidak hilang. Kini biaya tersebut dibebankan kepada masyarakat sekitarnya. Maka tidak mengendalikan limbah bukan berarti biaya tersebut tidak keluar, tetapi biaya tersebut ditransfer  ke pihak lain yang tidak menikmati kegiatan produksi. Bila dalam ilmu fisika, kita mengenal Kekekalan Energi, maka dalam pengendalian pencemaran ada yang disebut Prinsip Kekekalan Biaya. Sekali limbah dihasilkan, maka ada biaya yang tidak bisa dihilangkan. Terserah kepada kita untuk mengatur siapa yang membayarnya: produsen, konsumen, masyarakat, atau pemerintah.

Dalam kenyataan sehari-hari kita bisa melihat keadaan seperti ini dalam bentuk Rupiah. Suatu Kasus pencemaran di Jawa Timur, misalnya menyebabkan sumur-sumur penduduk tercemar logam berat, sehingga tidak dapat digunakan lagi. Oleh karena itu masyarakat harus membeli air. Dari pendapatan rata-rata di daerah tersebut, sekitar Rp200.000,-, Rp35.000 untuk membeli air.

Pertama, sesuai dengan prinsip kekekalan biaya, maka biaya limbah yang timbul dan tidak dipikul oleh produsen tidak begitu saja hilang, tetapi kini dipikul oleh masyarakat sekitar sebesar Rp35.000/bulan per kepala keluarga.

Kedua, untuk meningkatkan pendapatan masyarakat berpendapatan rendah itu tidak mudah. Mereka tidak memiliki banyak pilihan, keterampilannya terbatas dan sumber informasinya terbatas. Bagaimana kita bisa meningkatkan pendapatan yang menurun 17,5% tadi?

Dalam Kasus ini, ada yang memberi saran agar pabrik mengalirkan air dari pabrik keluar untuk kebutuhan masyarakat. Masalahnya kini adalah air sumur yang tadinya menjadi hak milik sekarang menjadi air yang diberi oleh pabrik.

Pertama, ini menyangkut harga diri. Maukah, misalnya, rumah milik Anda diserobot, dan sebagai gantinya diberi pinjaman rumah yang lebih baik?

Kedua, pencemaran tanah oleh logam berat ini bersifat pemanen. Walaupun pabriknya berhenti berproduksi, air tanah akan tetap tercemar. Apabila suatu hari pabrik memutuskan untuk menghentikan pemberian air, darimana lagi masyarakat bisa mendapatkannya? Pabrik bisa menjalankan program penghematan dan perusahaan bsia saja merelokasi atau bangkrut.


DAYA SAING LOKAL

Dikhawatirkan bahwa karena menerapkan pengendalian pencemaran, maka kemampuan bersaing akan menurun. Pengendalian pencemaran menaikkan biaya produksi. Karena biaya produksi meningkat, maka daya saing menurun.

Asumsi disini adalah bahwa semua produk dalam satu industri homogen dan semua produk peka terhadap harga. Asumis ini tentu saja tidak benar. Dalam industri obat sakit kepala, misalnya, kita mengenal puluhan produk yang mungkin mengandung zat aktif yang sama. Namun, berkat paket, marketing dan distribusi dan iklannya, obat itu di mata konsumen menjadi berbeda. Oleh karena itu, konsumen tidak memilih obat sakit kepala hanya karena lebih murah daripada produk lain.

Contoh lain adalah mobil sedan. Kita bisa melihat bahwa mobil sedan yang paling laku, bukan yang paling murah. Analisis struktur persaingan model Michael Porter (Competitive Strategy, Free Press) mengetengahkan 4 faktor yang menentukan di luar persaingan industri, yaitu “potential entrans, suppliers, subsitutes, dan buyers”. Adanya keempat faktor tersebut menunjukkan betapa kecilnya peranan harga. Harga rendah hanya merupakan salah satu dari tiga strategi di samping “focus” dan “differentiation”.

Dari segi lain, hal ini bisa pula dilihat bila masih ada yang ngotot bahwa harga tetap menentukan. Berbeda dengan negara lain, seperti Filipina, Malaysia dan Thailand, negara kita menerapkan baku mutu limbah yang sama untuk tiap industri. Maka kita memiliki baku mutu limbah tersendiri untuk industri tekstil, untuk industri kertas, untuk industri pelapisan logam, dsb. Baku mutu ini disusun berdasarkan kemampuan teknis dan ekonomis setempat atau sering disebut “best practicable technology” (BPT). Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan dalam satu industri menghadapi baku mutu yang sama, yang berarti menghadapi peningkatan biaya yang sama. Dari segi daya saing—bila harga dianggap menentukan—tidak dipengaruhi oleh pengendalian pencemaran.

Indonesia menggunakan baku mutu yang relative lebih longgar berdasarkan BPT karena pendekatan ini lebih pragmatis. Efektivitas pengendalian pencemaran berupa pajak. Dalam pajak, kita mengenal Laffer Curve, yang menunjukkan bahwa pendapatan pajak meningkat dengan meningkatnya presentasi (keuntungan), tetapi pada tingkat presentasi tertentu pendapatan pajak mulai menurun. Maka presentasi pajak perlu ditentukan di sekitar titik yang optimum. Dalam pengendalian pencemaran, makin ketatnya baku mutu limbah juga tidak berarti makin besar beban limbah yang dapat dicegah masuk ke lingkungan. BPT dipilih karena berada di sekitar titik optimum tadi.

 

DAYA SAING INTERNASIONAL

Ingo Walter (International Economic of Pollution, The Macmillan Press, Ltd) mencoba menguraikan dampak pengendalian pencemaran terhadap persaingan di pasar global. Menggunakan teori “keunggulan komparatif”, dia menyimpulkan bahwa perubahan harga akibat biaya pengendalian pencemaran akan mengubah “harga relatif” dari produk-produk dan mempengaruhi arah perdagangan. Ingo Water menulis tentang ini pada tahun 1975, sebelum terjadi perubahan dramatis dalam perdagangan dunia, karena munculnya Jepang, kemudian Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, Singapura, yang disusul dengan negara-negara Asia Timur lainnya, seperti Indonesia, Thailand, Malaysia.

Perubahan dramatis tersebut tidak dapat dijelaskan oleh teori keunggulan komparatif Korea, dengan keterbatasan pengadaan modal setelah Perang Korea, kini mampu mengekspor (mampu bersaing dalam) produk-produk yang “capital intensive”. Sebaliknya, ekspor semikonduktor dna barang-barang elektronik Amerika Serikat dengan keunggulan kualitas tenaga kerja, tenaga riset, dan modal justru menurun. Maka banyak yang menganggap teori keunggulan komparatif sudah tidak punya gigi lagi.

Dalam bukunya berjudul “The Competitive Advantage of Nation” Michael Porter dari Harvard Business School mengajukan pendekatan berbeda yang dapat menggantikan konsep keunggulan komparatif yang sudah berusia hampir 200 tahun itu. Apa yang menyebabkan unit ekonomi negara dapat menonjol dalam persaingan internasional dalam produk-produk tertentu?

Michael Porter mengajukan 4 faktor penentu. Yang pertama adalah posisi negara yang bersangkutan dalam faktor-faktor produksi, seperti sarana penunjang dan tenaga kerja, mampu dalam produk-produk tertentu tersebut. Yang kedua adalah tingkat permintaan lokal terhadap produk tersebut. Ketiga, adanya industri yang menunjang industri yang memproduksi produk tersebut. Yang keempat adalah strategi, struktur, dan persaingan dari perusahaan dalam industri penghasil produk tersebut di negara yang bersangkutan.

Menurut Porter, kebijakan pemerintah berperan dalam mempengaruhi keempat faktor tersebut. Melihat keempat faktor tersebut, tampak bahwa peranan meninngkatnya harga karena pengendalina pencemaran itidak mempunyai arti yang menenltukan. Pendekatan teoritis ini didukung oleh kenyatan di lapangan. Baku mutu limbah untuk industri tapioca Indonesia 4x lebih kendur daripada baku mutu untuk industri yang sama di Thailand, untuk industri kelapa sawit 5x lebih kendur daripada di Malaysia. Apakah keadaan ini mengakibatkan Indonesia lebih mampu bersaing dalam tapioka dibandingkan Thailand dalam kelapa sawit dibandingkan Malaysia?

 

PENANAMAN MODAL

Bagi industri uang membutuhkan input tenaga kerja murah, ketersediaan biaya tenaga kerja yang murah bisa menarik penanaman modal. Maka terjadi aliran penanaman modal dari negara-negara dengan biaya kerja tinggi menuju negara-negara dengan biaya kerja murah. Apakah keadaan serupa berlaku pula dalam pengendalian pencemaran? Apakah terjadi aliran penanaman modal dari engara-negara yang berbaku mutu limbah ketat menuju negara-negara berbaku mutu kendur? Pertanyaan ini relevan untuk menjawab anggapan bahwa pengendalian pencemaran dapat menghambat penanaman modal.

Charles S. Pearson pernah melakukan penelitian seperti yang dikemukakan dalam tulisannya yang berjudul “Environmental Standards, Industrial Relocation, and Pollution Havens” (Multinational Corporation, Environment, and the Third World, Duke University Press). Penelitiannya, yang dilakukan terhadap penanaman modal Amerika Serikat di luar negeri, memberikan hasil yang negatif. Perusahaan-perusahaan Amerika Serikat menanamkan modalnya ke luar negeri bukan karena mencari keringanan dalam baku mutu limbah. Salah satu penjelasannya adalah bawah penanaman modal dari Amerika Serikat untuk industri yang berpotensi mencemarkan justri ke Eropa Barat yang ketentuan lingkungannya ketat, bukan ke negara-negara Asia dan Afrika yang ketentuan lingkungannya kurang ketat.  Penelitian yang dilakukan untuk penanaman modal Jerman ke luar negeri juga berkesimpulan serupa.

Jawabannya juga dapat kita lihat di Kawasan ini. Apabila benar bahwa baku mutu yang ketat menghambat penanaman modal, maka penanaman modal di Indonesia yang berbaku mutu lebih kendur akan jauh lebih pesat dibandingkan dengan penanaman modal di Thailand dan Malaysia yang berbaku mutu lebih ketat. Perusahaan-perusahaan menengah dari negara-negara industri baru (NICs) memindahkan modalnya ke negara-negara Asia lainnya untuk mencari keunggulan dari keempat faktor yang  diungkapkan Michael Porter tersebut, bukan untuk mengcari negara berbaku mutu kendur. Mereka mencari lokasi baru yang memiliki potensi bersaing, dan ini tidak ditentukan oleh pengendalian pencemaran.

 

MENGAPA BELUM DAPAT DITERIMA?

Bila pengendalian pencemaran ternyata tidak menurunkan daya saing, bila pencemaran tidak menghambat penanaman modal, mengapa beberapa pihak masih saja berkeberatan terhadap pengendalina pencemaran? Jawabannya adalah jumlah absolut dari biaya pengendalian pencemaran.

Sebuah pabrik pulp dan kertas ukuran menengah, misalnya perlu mengeluarkan 6 Milyar Rupiah setahun untuk pengendalian pencemaran. 6M ini tidak akan membuat perusahaan bangkrut. Perusahan ini malah dalam beberapa tahun ini meluaskan pasarnya ke luar negeri. 6 Milyar ini tidak membuat pengusaha lain takut menanamkan modalnya di bidang industri kertas di Indonesia. Tetapi pihak lain, 6M ditangan ini bisa untuk membiayai keperluan lain bagi pemiliknya. Usaha berprinsip memaksimali keuntungan, dan ini prinsip yang dapat diterima selama tidak merugikan yang lain atau berdampak negatif.

6M tadi jika tidak digunakan untuk pengendalian pencemaran, bisa menjadi bagian dari produksi yang bila dieskpor dapat berupa devisa asing. Negara kita memang membutuhkan kekekalan biaya, bila tidak digunakan untuk pengendalian pencemarn, maka biaya tadi tidak hilang melainkan dipikul oleh masyarakat.

Maka dalam bentuk devisa asing, uang tersebut dihasiljan dari air mata masyarakat yang haru memikul biayanya. Negara kita membutuhkan devisa aisng, bukan “devisa air mata”.

Comments

Popular posts from this blog

Ringkasan Buku "The Power of Concentration: 20 Bahasa Kekuatan Konsentrasi"

Minggu, 8 Agutus 2019 Ringkasan   buku “The Power of Concentration: 20 Bahasa Kekuatan Konsentrasi” Penerbit RUMPUN. Oleh: Theron Q.Dumont. Kekuatan konsentrasi ada yang konstruktif (+) & destruktif (-). Kebiasaan adalah pencapaian mental. Keberhasilan adalah buah dari pola pikir. Ketangkasan otak menentukan hasil; kalau menunda orang lain menggantikan sehingga “kesempatan hilang”. Apabila membesarkan hati orang, maka akan terlihat sifat baik yang akan kembali ke diri kita masing-masing. KONSENTRASI PENUH akan menghubungkan Anda dengan pikiran Tuhan, Anda tidak lagi akan memiliki keterbatsan. Semakin tinggi konsentrasi, maka akan semakin tinggi kesempatan = sukses à mengatur diri dan memusatkan pikiran. Orang yang mampu berkonsentrasi adalah orang yang sibuk & bahagia. Latihan konsentrasi terbaik ialah menyimak dengan seksama orang yang berbicara. Cinta akan meningkatan kondisi fisik, social dan mental. Berbicaralah dengan pelan dan jelas. ...

Catatanku: Estonia, Ketergantungan Teknologi Internet dan Cyber Attacks

  Estonia adalah salah satu contoh unik bagaimana ketergantungan pada teknologi, khususnya internet, dapat menyebabkan kerentanan yang signifikan. Pada tahun 2007, negara ini mengalami salah satu serangan siber paling terkenal dalam sejarah modern, yang dikenal sebagai "Serangan Siber Estonia 2007" atau "Estonian Cyber Attacks." Latar Belakang Estonia, sebuah negara kecil di Eropa Timur, terkenal karena tingkat adopsi teknologi digitalnya yang sangat tinggi. Negara ini memanfaatkan teknologi untuk hampir setiap aspek kehidupan, dari layanan pemerintah hingga transaksi finansial. Pada saat serangan siber terjadi, Estonia sudah menjadi pelopor dalam layanan e-government, dengan banyak layanan publik yang dapat diakses secara online. Kronologi Serangan Siber Pemicu Serangan Pada April 2007, ketegangan politik antara Estonia dan Rusia memuncak. Ketegangan ini sebagian besar disebabkan oleh keputusan Estonia untuk memindahkan patung Perang Dunia II yang dianggap simbol s...

Game Theory dibahas!

Ringkasan Buku: “POLICY MAKING: Mengubah Negara Biasa Menjadi Negara Unggul” (by Dr. Riant Nugroho). Anyway buku ini yang juga membahas Game Theory dalam konteks Perumpamaan Antar Negara di Era Global. 1. Keunggulan tiap negara ditentukan oleh kemampuan negara tersebut dalam menghasilkan kebijakan-kebijakan publik yang unggul. 2. Lebih penting dari penguasaan teknis, perlu diketahui ada 11 kriteria kualifikasi analis kebijakan yang handal (Patton & Savicky, 1992). 3. Game Theory adalah peraturan-peraturan/kebijakan-kebijakan (yang pada akhirnya membangun situasi bersaing dari 2 atau beberapa orang) untuk memaksimalkan kemenangannya sendiri/meminimalisir kemenangan lawan. *catatan: gimana wujudnya negara-negara di situasi era global ini, kebijakan-kebijakan menyesuaikan antar negara satu sama lain (itu sebabnya ada kerjasama antar negara, perubahan kebijakan internal, dsb)—kelihatannya amat bergunanya kalo paham cara baca situasi dunia internasional; jadi kebijakan dalam negeri ga ...